Kasih sayang, perasaan yang universal. Adalah saat
kita bertemu mata dengan mata yang jernih, senyum menggemaskan, kaki-kaki
mungil yang lincah. Bertemu hati, dengan kepolosan dan kejujuran. Maka kita selalu bisa merasakan cinta itu mengalir di
dalam hati. Meski berbeda benua dan bahasa. Cinta itu selalu universal.
Sunday, 7 July 2013
Monday, 1 July 2013
Kutipan: Dari Lembah Cita-Cita
"Ada orang yang hidup. sampai tubuhnya di dalam kubur. sampai tulang hancur di dalam tanah, namanya dan hidupnya pun turut habis dengan tubuhnya. tidak menjadi peringatan orang lagi. Sebab hidupnya tidak berhaluan. Ada pula orang yang tambah hilang jasmaninya. tambah timbul kehidupannya. tambah digali orang, tambah diperiksa orang. diselidiki dan ditilik. Sehingga kian habis badannya itu, kian hidup namanya."
"Orang yang pertama, lebih banyak hidupnya sehingga menarik nafas turun naik, buat dia sehingga itulah darah hidup. Orang itu takut mati, kerana mencintai hidup. padahal di waktu hidupnya juga dia telah mati. Tetapi orang yang kedua, yang menyelidiki alam dan mendapat dalam penyelidikannya itu, dialah orang yang tidak takut mati lantaran mencari hidup. Maka hiduplah dia walaupun sudah mati."
-Hamka
"Orang yang pertama, lebih banyak hidupnya sehingga menarik nafas turun naik, buat dia sehingga itulah darah hidup. Orang itu takut mati, kerana mencintai hidup. padahal di waktu hidupnya juga dia telah mati. Tetapi orang yang kedua, yang menyelidiki alam dan mendapat dalam penyelidikannya itu, dialah orang yang tidak takut mati lantaran mencari hidup. Maka hiduplah dia walaupun sudah mati."
-Hamka
Friday, 31 May 2013
Perasaan yang Terkirim
Bahkan
saat harus sms-an dengan seseorang. Yang ketika menunggu balasan smsnya seperti
ada puluhan spesies bunga mendadak mekar di rongga dadamu. Atau senyum-senyum
misterius yang kau munculkan sendiri tanpa sebab. Maka ada perlunya untuk
berhenti sejenak. Lalu pegang erat-erat hati yang cuma satu itu. Eh pastikan
dulu ya, ia masih ada atau tidak.
Seorang teman lama pernah tiba-tiba menelepon dari
seberang provinsi. Mencurahkan perasaan hatinya, bahwa ia tiba-tiba
menghentikan komunikasinya dengan seseorang. Karena suatu hal yang menurutnya
sangat mengganggu. Mendadak semua nomor ponsel yang bersangkutan dihapus.
Bahkan ‘berpamitan’ terus terang pada seseorang itu, bahwa tidak akan ada lagi
komunikasi di antara mereka. Juga tak lupa tentang alasannya.
Kalau kalian tahu alasannya, bisa kutebak mungkin
yang terlintas adalah ucapan: Ah lebay
banget deh. Atau: Cupu ah, ekstrim
banget tauk. Cuma sms-an doang. Kan
bukan pacaran? Cewek emang rapuh, dikit-dikit gampang geer. Nah, yang
terakhir mungkin benar.
Dan ketahuilah, alasannya tidak sederhana; karena saat ia menekan
tombol Send di ponsel bukan hanya
barisan kata yang terkirim dan sampai ke seberang sana. Detik-detik menunggu balasannya, seperti menunggu
bintang jatuh. Dan saat balasan itu tiba, oh astaga! Hatinya tidak bisa
diselamatkan lagi.
Jika kalian bertanya, apakah ‘seseorang’ itu adalah pujangga masa kini
yang kerap bergombal ria lewat sms dengan lawan jenis? Atau serupa ikhwan
spesies baru yang doyan menebar hikmah bermodus tebar pesona? Maka nyatanya
tidak. Pembicaraan yang mengalir dalam pesan singkat justru sederhana, berawal sepele
pula. Dan karena ‘seseorang’ itu tidak pernah ‘macam-macam’ dalam perkataan dan
perbuatan, jadilah syaitan di kiri dan kanan yang bertindak.
Awalnya berat. Di saat orang lain justru
bersemangat memperjuangkan perasaannya, maka ia sadar. Inilah saatnya berhenti.
Sekuat hati, saat menelponku ia mengaku perjuangannya sudah berumur tiga hari. Dan aku mungkin bukan pendengar yang baik, hanya
tertawa saja mendengarnya. Baru juga tiga
hari hihihi.
Apalah artinya kekaguman sepihak yang membuat hati berubah bak taman bunga. Jika sepanjang waktu hanya melulu 'ia' yang terbayang. Jika mendadak wajahnya terukir di kaca jendela kamar, pintu lemari, lembaran daun jatuh, atau bahkan wajah orang-orang di sekitar kita. Tapi 'ia' hanya menganggap kita sama saja dengan ribuan orang yang ditemuinya setiap hari. Tak berarti.
Apalah artinya kekaguman sepihak yang membuat hati berubah bak taman bunga. Jika sepanjang waktu hanya melulu 'ia' yang terbayang. Jika mendadak wajahnya terukir di kaca jendela kamar, pintu lemari, lembaran daun jatuh, atau bahkan wajah orang-orang di sekitar kita. Tapi 'ia' hanya menganggap kita sama saja dengan ribuan orang yang ditemuinya setiap hari. Tak berarti.
Jutaan perempuan di luar sana akan semakin bahagia
saat hati dan perasaannya terbang melambung tinggi. Sebelum ada kepastian apa-apa, bahkan.
Mereka lupa, semakin tinggi maka akan semakin sakit ketika jatuh. Mereka tak
ingat, sakit dan luka yang dalam berbanding lurus dengan lama penyembuhan.
Labels:
akhwat,
catatan harian,
cinta,
coretcoret,
curhat,
moments
#Dialog: Kriteria
C: Suka
heran deh, sama ikhwan yang nulis di proposal ta’aruf. Kriteria istri: bla bla
bla, mau diajak hidup susah. Ngga optimis banget. Emang siapa juga yang mau
diajak hidup susah? Kesannya abis nikah bakal disiksa.
N:
Eh iya juga ya
C:
Ada ustad yang bilang, jangan mau kalo diajak hidup susah. Namanya ngga
optimis.
N:
Mungkin maksudnya mau nerima apa adanya kali
C:
Seenggaknya kan bisa ditulis: Siap diajak berjuang bersama dalam suka dan duka,
gitu kek. Masa nikahin akhwat buat diajak susah?
Dialog (nyata) nya akhwat-akhwat idealis dan
kadang polos juga >~<
Thursday, 30 May 2013
DREAM: Ice Cream Cup Cake
Setelah jatuh cinta sama cup cake dan (agak) berhasil bikin, akhirnya saya bisa move on ke lain hati. Yah biarpun masih sodaraan sih sama cup cake. Sebagai pecinta dairy product macam susu, yoghurt dan lainnya, maka pilihan daku akhirnya jatuh padaaa... ice cream cup cake. Nah karena belum berkesempatan bikin, jadi readers liat foto curian dari mbah gugel aja yah :">
Udah mulai ngiler kaan?
Nah! kalo yang ini project abal-abal. Sebut saja
Krimi
Krimi
bites of cream and dream
*cengarcengir sendiri*
*kemudian ngintipin sisa ingridients yang ada di dapur*
Wednesday, 29 May 2013
Monday, 13 May 2013
Sunday, 12 May 2013
Puisi Puisi
"Puisi bisa menjadi semacam magnet yang melekatkan kita pada seseorang, bahkan bila kita membencinya. Puisi yang kita tak tulis tak akan pernah mati, bahkan bila kita mati."
― Helvy Tiana Rosa, Risalah Cinta
Perempuan Surga
Ahad pagi yang biasa. Bernafas lega karena matahari masih terbit
dari timur. Tentu karena Sang Empunya masih berkenan demikian. Dengan semangat
asyik-hari-ini-libur khas anak sekolah kami sampai juga di toko buku Islam yang
ternyata hari Ahad lebih ramai dari hari Lebaran (fakta yang sebenarnya anak SD
juga tahu).
Setelah keliling baca-baca resensi, ngepoin diskon, liat-liat
poster akhirnya untuk kesekian ratus kali saya memilih melanggar janji untuk
nggak beli apa-apa kalo ke toko buku. Meskipun cuma beberapa eksemplar majalah
berlainan judul, ya tetap saja. Tetap dengan ritual mengutuki diri bercampur
dengan kebahagian punya bacaan baru, yang artinya juga teman baru :) Tapi saya keliru. Hari itu bukan hari biasa. Karena hari
itu Allah telah berbaik hati mempertemukan saya dengan salah seorang penghuni surgaNya kelak.
Setelah membayar belanjaan, karena merasa hampir mati kehausan saya
duduk di bangku depan toko. Sekedar minum dan numpang duduk. Belum habis
setengah gelas, seseorang menepuk pundak saya lembut. Seorang ibu membawa tas.
Isinya beberapa majalah.
“Dek, mau
beli majalah ndak? Beberapa
sudah saya sampul rapi, minta tolong mas yang di dalam. Boleh lihat-lihat dulu,
kok.”
Si ibu maju dengan isyarat ‘saya mau
ikutan duduk juga dong’
membuat saya menggeser posisi duduk
lebih rapat dengan teman saya. Wah bu,
saya baru aja beli. Tapi hanya terdiam seiring si ibu mulai bercerita. Bahwa
pekerjaan hariannya adalah sebagai penjual majalah bekas sekaligus majalah
Islam yang disedekahkan seorang ustadz untuk beliau. Pekerjaan yang ditekuni
empat tahun sudah, setelah suaminya meninggal karena sakit. Majalah berjumlah 20
eksemplar dengan harga diatas 20 ribu rupiah itu seharusnya dapat memenuhi
kebutuhan si ibu dan keempat anaknya yang masih bersekolah. Tapi justru di
situlah masalahnya. Harga majalah itu seringkali dianggap terlalu tinggi bagi
calon pembeli. Hingga berkeliling kota dengan sepeda, mengunjungi masjid-masjid
tidak bisa menyelesaikan kesulitan ekonomi yang si ibu alami sejak kehilangan
suami, sang tulang punggung keluarga.
Konon, si ibu pernah
mengunjungi sebuah pemukiman yang dihuni keturunan Arab. Berharap pelanggan
majalahnya muncul bak hujan di tengah kemarau. Sia-sia, ternyata tak ada yang
berminat. “Mereka
lebih tertarik sama majalah yang ada habib-habib nya itu loh, dek,” ucap si ibu sendu. Dan saya mengangguk untuk kesekian
kalinya.
Saya kemudian menyarankan si
ibu untuk menitipkan majalahnya di toko-toko buku atau pedagang koran kaki
lima. Tetap saja ada kendala. Hampir semua toko buku sudah punya agen resmi
sebagai suplier majalah. Setiap hari mengendarai sepeda (sesekali berganti
motor sewaan) tetap saja diakhir bulan dagangannya menyisakan beberapa
eksemplar majalah yang harusnya telah berganti rupiah. Membuat si ibu kemudian
galau, dan membawa majalahnya ke kios terdekat. Untuk ditukar dengan beras
seikhlas penjualnya memberi.
Semasa hidup mendiang
suaminya bekerja sebagai karyawan butik. Yang berarti, tidak ada pensiunan yang
dapat diwariskan sebagai penopang hidup. Saya meraih tangan si ibu yang mulai
keriput. Mencoba menguatkan, dengan kekuatan yang tidak pernah seberapa. Si ibu
melanjutkan cerita, tentang anak yang keempat-empatnya masih duduk di bangku
sekolah. Anak pertama kini mengenyam pendidikan kejuruan. Seringkali butuh
biaya untuk praktek kerja lapangan. Sedangkan yang paling kecil baru berusia 7
tahun. Masing-masing punya trauma akut jika ada tamu tak diundang yang datang
mengetuk pintu rumah sesekali datang menagih utang.
Di sela air mata yang mulai
menetes, si ibu menuturkan tentang anaknya yang ketakutan dan seringkali bersembunyi
di kolong meja jika penagih utang tiba. “Sebahagia apapun orang, paling bahagia jika ndak punya
utang, dek.” Setelah
bertahun-tahun berusaha, tetap saja semua utangnya belum terlunasi. Meski sebagian
ada yang bersedia mengikhlaskan, atau dibayar separuh nilai pinjaman.
Berulangkali si ibu minta
doa agar dikuatkan. Kemudian bercerita tentang rasa sakit yang ia derita akibat
benjolan di kemaluannya, yang kian hari kian membesar. Sebanding dengan rasa
sakit yang kian ganas. Apalagi saat harus menjalani hari di bawah terik
matahari, mengayuh sepedanya sejauh ia bisa. Namun karena alasan biaya, beliau
tidak sanggup memeriksakan penyakitnya ke dokter ahli.
Aku melirik sekilas tas yang
dikenakan si ibu untuk menjajakan majalah. Jujur
itu hebat! Tulisan yang sangat sesuai. Saya sangat menghargai si ibu yang
tetap bertekad menjual majalah bekas yang jarang laku. Ketimbang harus meminta-minta
belas kasihan orang lain, menjadi pengemis padahal kekayaannya setara dengan
pegawai negeri kelas menengah.
Beberapa tahun sepeninggal
suami, beliau pernah ditawari untuk menikah lagi. “Bagi saya cukup suami saya saja, sekali seumur hidup. Saya
takut anak-anak saya nanti tidak cocok dengan ayah tirinya.”
Padahal, mungkin dengan menikah lagi
mereka dapat menikmati hidup baru. Dengan tulang punggung keluarga yang baru, yang
berarti harapan baru untuk kehidupan yang lebih baik.
Untuk kesekian kalinya
beliau hanya minta didoakan agar tabah dan istiqomah sesuai pesan suaminya, “Cukup di dunia saja kita hidup susah ya Bu, jangan sampai
akhiratnya juga malah nggak dapat.” Masa lalu beliau, yang berasal dari keluarga non muslim,
sangat jauh berbeda setelah bertemu dengan suami yang telah membimbingnya.
Mengenalkannya pada diin, mulai berjilbab hingga berkaos kaki. “Kaos kaki saya cuma dua pasang, kalo hujan dicuci semua saya
kadang ndak pake kaos kaki dek, kayak sekarang ini. Sebenernya saya tahu, kaki
juga aurat. Selama ini saja, jika diberi sumbangan pakaian bekas dari tetangga
malah saya jual ke pasar. Supaya bisa beli beras..”
“Adek-adek
ini bersyukur ya, karena bisa menutup aurat dengan sempurna zaman sekarang.
Saya juga pengen anak-anak saya nanti paham agama, mandiri dari sekarang. Kan
ndak tahu kapan orang tuanya ndak ada.”
Beliau juga mengungkapkan
harapan untuk memiliki sebuah blender. Untuk memulai usahanya menjual jus buah
yang akan disalurkan ke sekolah-sekolah. Agar ia tak lagi kepanasan mengayuh
sepeda, sekaligus menahan perih dari benjolan di kemaluannya saat bersepeda.
Pertemuan kami berakhir
dengan saling mendoakan. Membisikkan nasihat, saling menumbuhkan harapan baik.
Meski tidak sanggup membeli majalah bekas milik beliau, akhirnya hanya bisa
meminta nomor ponsel yang bisa dihubungi. Mungkin saja suatu saat nanti Allah
akan menitipkan pemberian terbaik itu melalui kami. Manusia yang sungguh jauh
lebih lemah dari si ibu.
Semoga.
Wednesday, 8 May 2013
Subscribe to:
Posts (Atom)