Ahad pagi yang biasa. Bernafas lega karena matahari masih terbit
dari timur. Tentu karena Sang Empunya masih berkenan demikian. Dengan semangat
asyik-hari-ini-libur khas anak sekolah kami sampai juga di toko buku Islam yang
ternyata hari Ahad lebih ramai dari hari Lebaran (fakta yang sebenarnya anak SD
juga tahu).
Setelah keliling baca-baca resensi, ngepoin diskon, liat-liat
poster akhirnya untuk kesekian ratus kali saya memilih melanggar janji untuk
nggak beli apa-apa kalo ke toko buku. Meskipun cuma beberapa eksemplar majalah
berlainan judul, ya tetap saja. Tetap dengan ritual mengutuki diri bercampur
dengan kebahagian punya bacaan baru, yang artinya juga teman baru :) Tapi saya keliru. Hari itu bukan hari biasa. Karena hari
itu Allah telah berbaik hati mempertemukan saya dengan salah seorang penghuni surgaNya kelak.
Setelah membayar belanjaan, karena merasa hampir mati kehausan saya
duduk di bangku depan toko. Sekedar minum dan numpang duduk. Belum habis
setengah gelas, seseorang menepuk pundak saya lembut. Seorang ibu membawa tas.
Isinya beberapa majalah.
“Dek, mau
beli majalah ndak? Beberapa
sudah saya sampul rapi, minta tolong mas yang di dalam. Boleh lihat-lihat dulu,
kok.”
Si ibu maju dengan isyarat ‘saya mau
ikutan duduk juga dong’
membuat saya menggeser posisi duduk
lebih rapat dengan teman saya. Wah bu,
saya baru aja beli. Tapi hanya terdiam seiring si ibu mulai bercerita. Bahwa
pekerjaan hariannya adalah sebagai penjual majalah bekas sekaligus majalah
Islam yang disedekahkan seorang ustadz untuk beliau. Pekerjaan yang ditekuni
empat tahun sudah, setelah suaminya meninggal karena sakit. Majalah berjumlah 20
eksemplar dengan harga diatas 20 ribu rupiah itu seharusnya dapat memenuhi
kebutuhan si ibu dan keempat anaknya yang masih bersekolah. Tapi justru di
situlah masalahnya. Harga majalah itu seringkali dianggap terlalu tinggi bagi
calon pembeli. Hingga berkeliling kota dengan sepeda, mengunjungi masjid-masjid
tidak bisa menyelesaikan kesulitan ekonomi yang si ibu alami sejak kehilangan
suami, sang tulang punggung keluarga.
Konon, si ibu pernah
mengunjungi sebuah pemukiman yang dihuni keturunan Arab. Berharap pelanggan
majalahnya muncul bak hujan di tengah kemarau. Sia-sia, ternyata tak ada yang
berminat. “Mereka
lebih tertarik sama majalah yang ada habib-habib nya itu loh, dek,” ucap si ibu sendu. Dan saya mengangguk untuk kesekian
kalinya.
Saya kemudian menyarankan si
ibu untuk menitipkan majalahnya di toko-toko buku atau pedagang koran kaki
lima. Tetap saja ada kendala. Hampir semua toko buku sudah punya agen resmi
sebagai suplier majalah. Setiap hari mengendarai sepeda (sesekali berganti
motor sewaan) tetap saja diakhir bulan dagangannya menyisakan beberapa
eksemplar majalah yang harusnya telah berganti rupiah. Membuat si ibu kemudian
galau, dan membawa majalahnya ke kios terdekat. Untuk ditukar dengan beras
seikhlas penjualnya memberi.
Semasa hidup mendiang
suaminya bekerja sebagai karyawan butik. Yang berarti, tidak ada pensiunan yang
dapat diwariskan sebagai penopang hidup. Saya meraih tangan si ibu yang mulai
keriput. Mencoba menguatkan, dengan kekuatan yang tidak pernah seberapa. Si ibu
melanjutkan cerita, tentang anak yang keempat-empatnya masih duduk di bangku
sekolah. Anak pertama kini mengenyam pendidikan kejuruan. Seringkali butuh
biaya untuk praktek kerja lapangan. Sedangkan yang paling kecil baru berusia 7
tahun. Masing-masing punya trauma akut jika ada tamu tak diundang yang datang
mengetuk pintu rumah sesekali datang menagih utang.
Di sela air mata yang mulai
menetes, si ibu menuturkan tentang anaknya yang ketakutan dan seringkali bersembunyi
di kolong meja jika penagih utang tiba. “Sebahagia apapun orang, paling bahagia jika ndak punya
utang, dek.” Setelah
bertahun-tahun berusaha, tetap saja semua utangnya belum terlunasi. Meski sebagian
ada yang bersedia mengikhlaskan, atau dibayar separuh nilai pinjaman.
Berulangkali si ibu minta
doa agar dikuatkan. Kemudian bercerita tentang rasa sakit yang ia derita akibat
benjolan di kemaluannya, yang kian hari kian membesar. Sebanding dengan rasa
sakit yang kian ganas. Apalagi saat harus menjalani hari di bawah terik
matahari, mengayuh sepedanya sejauh ia bisa. Namun karena alasan biaya, beliau
tidak sanggup memeriksakan penyakitnya ke dokter ahli.
Aku melirik sekilas tas yang
dikenakan si ibu untuk menjajakan majalah. Jujur
itu hebat! Tulisan yang sangat sesuai. Saya sangat menghargai si ibu yang
tetap bertekad menjual majalah bekas yang jarang laku. Ketimbang harus meminta-minta
belas kasihan orang lain, menjadi pengemis padahal kekayaannya setara dengan
pegawai negeri kelas menengah.
Beberapa tahun sepeninggal
suami, beliau pernah ditawari untuk menikah lagi. “Bagi saya cukup suami saya saja, sekali seumur hidup. Saya
takut anak-anak saya nanti tidak cocok dengan ayah tirinya.”
Padahal, mungkin dengan menikah lagi
mereka dapat menikmati hidup baru. Dengan tulang punggung keluarga yang baru, yang
berarti harapan baru untuk kehidupan yang lebih baik.
Untuk kesekian kalinya
beliau hanya minta didoakan agar tabah dan istiqomah sesuai pesan suaminya, “Cukup di dunia saja kita hidup susah ya Bu, jangan sampai
akhiratnya juga malah nggak dapat.” Masa lalu beliau, yang berasal dari keluarga non muslim,
sangat jauh berbeda setelah bertemu dengan suami yang telah membimbingnya.
Mengenalkannya pada diin, mulai berjilbab hingga berkaos kaki. “Kaos kaki saya cuma dua pasang, kalo hujan dicuci semua saya
kadang ndak pake kaos kaki dek, kayak sekarang ini. Sebenernya saya tahu, kaki
juga aurat. Selama ini saja, jika diberi sumbangan pakaian bekas dari tetangga
malah saya jual ke pasar. Supaya bisa beli beras..”
“Adek-adek
ini bersyukur ya, karena bisa menutup aurat dengan sempurna zaman sekarang.
Saya juga pengen anak-anak saya nanti paham agama, mandiri dari sekarang. Kan
ndak tahu kapan orang tuanya ndak ada.”
Beliau juga mengungkapkan
harapan untuk memiliki sebuah blender. Untuk memulai usahanya menjual jus buah
yang akan disalurkan ke sekolah-sekolah. Agar ia tak lagi kepanasan mengayuh
sepeda, sekaligus menahan perih dari benjolan di kemaluannya saat bersepeda.
Pertemuan kami berakhir
dengan saling mendoakan. Membisikkan nasihat, saling menumbuhkan harapan baik.
Meski tidak sanggup membeli majalah bekas milik beliau, akhirnya hanya bisa
meminta nomor ponsel yang bisa dihubungi. Mungkin saja suatu saat nanti Allah
akan menitipkan pemberian terbaik itu melalui kami. Manusia yang sungguh jauh
lebih lemah dari si ibu.
Semoga.
0 comments:
Post a Comment