Sunday, 12 May 2013

Perempuan Surga


Ahad pagi yang biasa. Bernafas lega karena matahari masih terbit dari timur. Tentu karena Sang Empunya masih berkenan demikian. Dengan semangat asyik-hari-ini-libur khas anak sekolah kami sampai juga di toko buku Islam yang ternyata hari Ahad lebih ramai dari hari Lebaran (fakta yang sebenarnya anak SD juga tahu).

Setelah keliling baca-baca resensi, ngepoin diskon, liat-liat poster akhirnya untuk kesekian ratus kali saya memilih melanggar janji untuk nggak beli apa-apa kalo ke toko buku. Meskipun cuma beberapa eksemplar majalah berlainan judul, ya tetap saja. Tetap dengan ritual mengutuki diri bercampur dengan kebahagian punya bacaan baru, yang artinya juga teman baru :) Tapi saya keliru. Hari itu bukan hari biasa. Karena hari itu Allah telah berbaik hati mempertemukan saya dengan salah seorang penghuni surgaNya kelak.

Setelah membayar belanjaan, karena merasa hampir mati kehausan saya duduk di bangku depan toko. Sekedar minum dan numpang duduk. Belum habis setengah gelas, seseorang menepuk pundak saya lembut. Seorang ibu membawa tas. Isinya beberapa majalah.
Dek, mau beli majalah ndak? Beberapa sudah saya sampul rapi, minta tolong mas yang di dalam. Boleh lihat-lihat dulu, kok.

Si ibu maju dengan isyarat saya mau ikutan duduk juga dongmembuat saya menggeser posisi duduk lebih rapat dengan teman saya. Wah bu, saya baru aja beli. Tapi hanya terdiam seiring si ibu mulai bercerita. Bahwa pekerjaan hariannya adalah sebagai penjual majalah bekas sekaligus majalah Islam yang disedekahkan seorang ustadz untuk beliau. Pekerjaan yang ditekuni empat tahun sudah, setelah suaminya meninggal karena sakit. Majalah berjumlah 20 eksemplar dengan harga diatas 20 ribu rupiah itu seharusnya dapat memenuhi kebutuhan si ibu dan keempat anaknya yang masih bersekolah. Tapi justru di situlah masalahnya. Harga majalah itu seringkali dianggap terlalu tinggi bagi calon pembeli. Hingga berkeliling kota dengan sepeda, mengunjungi masjid-masjid tidak bisa menyelesaikan kesulitan ekonomi yang si ibu alami sejak kehilangan suami, sang tulang punggung keluarga.

Konon, si ibu pernah mengunjungi sebuah pemukiman yang dihuni keturunan Arab. Berharap pelanggan majalahnya muncul bak hujan di tengah kemarau. Sia-sia, ternyata tak ada yang berminat. Mereka lebih tertarik sama majalah yang ada habib-habib nya itu loh, dek, ucap si ibu sendu. Dan saya mengangguk untuk kesekian kalinya.

Saya kemudian menyarankan si ibu untuk menitipkan majalahnya di toko-toko buku atau pedagang koran kaki lima. Tetap saja ada kendala. Hampir semua toko buku sudah punya agen resmi sebagai suplier majalah. Setiap hari mengendarai sepeda (sesekali berganti motor sewaan) tetap saja diakhir bulan dagangannya menyisakan beberapa eksemplar majalah yang harusnya telah berganti rupiah. Membuat si ibu kemudian galau, dan membawa majalahnya ke kios terdekat. Untuk ditukar dengan beras seikhlas penjualnya memberi.

Semasa hidup mendiang suaminya bekerja sebagai karyawan butik. Yang berarti, tidak ada pensiunan yang dapat diwariskan sebagai penopang hidup. Saya meraih tangan si ibu yang mulai keriput. Mencoba menguatkan, dengan kekuatan yang tidak pernah seberapa. Si ibu melanjutkan cerita, tentang anak yang keempat-empatnya masih duduk di bangku sekolah. Anak pertama kini mengenyam pendidikan kejuruan. Seringkali butuh biaya untuk praktek kerja lapangan. Sedangkan yang paling kecil baru berusia 7 tahun. Masing-masing punya trauma akut jika ada tamu tak diundang yang datang mengetuk pintu rumah sesekali datang menagih utang.

Di sela air mata yang mulai menetes, si ibu menuturkan tentang anaknya yang ketakutan dan seringkali bersembunyi di kolong meja jika penagih utang tiba. Sebahagia apapun orang, paling bahagia jika ndak punya utang, dek.Setelah bertahun-tahun berusaha, tetap saja semua utangnya belum terlunasi. Meski sebagian ada yang bersedia mengikhlaskan, atau dibayar separuh nilai pinjaman.

Berulangkali si ibu minta doa agar dikuatkan. Kemudian bercerita tentang rasa sakit yang ia derita akibat benjolan di kemaluannya, yang kian hari kian membesar. Sebanding dengan rasa sakit yang kian ganas. Apalagi saat harus menjalani hari di bawah terik matahari, mengayuh sepedanya sejauh ia bisa. Namun karena alasan biaya, beliau tidak sanggup memeriksakan penyakitnya ke dokter ahli.

Aku melirik sekilas tas yang dikenakan si ibu untuk menjajakan majalah. Jujur itu hebat! Tulisan yang sangat sesuai. Saya sangat menghargai si ibu yang tetap bertekad menjual majalah bekas yang jarang laku. Ketimbang harus meminta-minta belas kasihan orang lain, menjadi pengemis padahal kekayaannya setara dengan pegawai negeri kelas menengah.
Beberapa tahun sepeninggal suami, beliau pernah ditawari untuk menikah lagi. Bagi saya cukup suami saya saja, sekali seumur hidup. Saya takut anak-anak saya nanti tidak cocok dengan ayah tirinya.Padahal, mungkin dengan menikah lagi mereka dapat menikmati hidup baru. Dengan tulang punggung keluarga yang baru, yang berarti harapan baru untuk kehidupan yang lebih baik.

Untuk kesekian kalinya beliau hanya minta didoakan agar tabah dan istiqomah sesuai pesan suaminya, Cukup di dunia saja kita hidup susah ya Bu, jangan sampai akhiratnya juga malah nggak dapat. Masa lalu beliau, yang berasal dari keluarga non muslim, sangat jauh berbeda setelah bertemu dengan suami yang telah membimbingnya. Mengenalkannya pada diin, mulai berjilbab hingga berkaos kaki. Kaos kaki saya cuma dua pasang, kalo hujan dicuci semua saya kadang ndak pake kaos kaki dek, kayak sekarang ini. Sebenernya saya tahu, kaki juga aurat. Selama ini saja, jika diberi sumbangan pakaian bekas dari tetangga malah saya jual ke pasar. Supaya bisa beli beras..

Adek-adek ini bersyukur ya, karena bisa menutup aurat dengan sempurna zaman sekarang. Saya juga pengen anak-anak saya nanti paham agama, mandiri dari sekarang. Kan ndak tahu kapan orang tuanya ndak ada.
Beliau juga mengungkapkan harapan untuk memiliki sebuah blender. Untuk memulai usahanya menjual jus buah yang akan disalurkan ke sekolah-sekolah. Agar ia tak lagi kepanasan mengayuh sepeda, sekaligus menahan perih dari benjolan di kemaluannya saat bersepeda.

Pertemuan kami berakhir dengan saling mendoakan. Membisikkan nasihat, saling menumbuhkan harapan baik. Meski tidak sanggup membeli majalah bekas milik beliau, akhirnya hanya bisa meminta nomor ponsel yang bisa dihubungi. Mungkin saja suatu saat nanti Allah akan menitipkan pemberian terbaik itu melalui kami. Manusia yang sungguh jauh lebih lemah dari si ibu.

Semoga.

0 comments:

Post a Comment