Malam ini kami duduk di atap rumah.
Bukan di atas genting. Rumah sederhana kami yang terletak di lantai dua memang
tidak bergenting. Tapi masih ada satu lantai tanpa atap yang bisa kami pakai
menjemur pakaian, sarapan, makan malam, menulis, mengerjakan tugas kuliah,
hingga mendirikan tenda dan berpura-pura sedang summer camp di Edinburgh. Di atas sini adalah bagian favoritku dari
rumah kami. Ada lampu-lampu kecil yang kami atur sedemikian pada jaring-jaring
bekas. We’re such recycling lovers.
Oh iya, sejak tadi yang kusebut ‘kami’
adalah aku sendiri, dan Dinda. Buatku, yang hanya mengenal dunia biner ini,
jarang betul bisa melihat teleskop dan menggunakannya langsung. Apalagi memilikinya.
Dinda, meski ia hanya meminta sebuah cincin sebagai mahar, aku ngotot ingin
memberinya ‘sesuatu’ selain sebuah cincin.
Teleskop Celestron pesananku sampai
kemarin. Sengaja kuminta dikirim ke kantor agar tak ketahuan. Entah kenapa
pilihan itu jatuh pada teleskop. Aku tidak pernah tahu Dinda suka astronomi
atau tidak. Tapi waktu ditawari Adit, sahabatku yang sedang kuliah master di
Jerman soal Celeston itu aku langsung mengiyakan tanpa pikir panjang.
“Waaah..” mata Dinda berbinar-binar
takjub. Matanya yang bulat semakin indah. Salah satu yang kusuka dari dirinya. Cukup
lama ber’waah’ mengamati Celestron baru kami, ia kemudian melirikku. Melirik
Celestron lagi. Melirikku lagi. Aku tersenyum dan mengangguk. Si mata indah itu
ikut mengangguk. Entah dengan bahasa apa kami ‘berbicara’ barusan.
Aku jadi teringat kedua kalinya
bertemu bidadari bermata indah ini. Sebuah pertemuan di dalam bus kota.
Sederhana dan klise memang. Awalnya aku pun hanya menganggapnya pertemuan
biasa. Sama halnya setiap hari bertemu kawan yang sama di kantor, tetangga
sebelah yang menyiram bunga, ataupun kondektur bus yang menagih ongkos
menumpang. Pagi itu, pukul 07.10 aku mencegat bus kota warna merah. Beruntung
dapat bangku kosong deretan ketiga dari depan. Bangku seberang, maksudku bangku
samping kiriku yang ada di seberang jalur tengah -jalan penumpang dan kondektur
lalu-lalang- juga kosong. Aku duduk bersamaan dengan penumpang baru itu. Gadis
berjilbab hijau muda, membawa buket bunga berwarna-warni. Aku melirik sekilas,
lalu berpaling ke arah jendela di sisi kanan. Menikmati perjalanan. Lalu turun
setelah sampai.
Tapi perjalanan takdir tentu tidak
sesederhana pikiran kita saat menjalaninya, bukan?
Seminggu kemudian, sepulang dari kantor.
Kembali naik bus kota warna merah. Kali ini tidak dapat tempat duduk, terpaksa
berdiri. Anak kecil berpakaian lusuh naik ke dalam bus. Kukira seorang
pengamen, ternyata ia bisu. Hanya mengeluarkan suara tidak begitu jelas.
Beberapa penumpang menatap iba, lalu memberi sedikit receh. Beberapa tak segan
memberi lembaran. Langkahnya terhenti pada bangku deretan ketiga. Seseorang
mengajaknya berbicara. Terkadang jemari tangannya berbentuk simbol-simbol yang tidak semua orang memahaminya.
Bahasa isyarat para tuna rungu maupun
tuna wicara. Tak disadari keduanya, aku mengerti pembicaraan singkat itu.
Tangan si jilbab biru mengelus kepala anak kecil berpakaian lusuh. Dan hanya
menunggu sepersekian detik, wajah anak itu kini terlihat lebih bersemangat.
Terkadang, dalam sebuah perjalanan
kita mengira ia yang duduk di seberang sana hanya makhluk yang numpang duduk.
Kemudian sama-sama menikmati perjalanan masing-masing. Atau seseorang yang
muncul di depan rumah suatu sore hanya lewat permisi. Lalu kita kembali masuk
mengunci pintu. Tapi bukankah kita tidak pernah tahu, kapan pertemuan kedua itu
tiba?
Dinda mencolekku seenaknya. Lalu
menggerakkan tangannya, berkata dalam bahasa isyarat, "Thank’s hadiahnya."
Ya, karena pertemuan pertama adalah saat
takdir semua makhluk ciptaanNya dituliskan. Dalam lembaran-lembaran yang
terjaga. Penuh kerahasiaan.
0 comments:
Post a Comment