Monday, 18 March 2013

FICTS: Pertemuan Pertama


Malam ini kami duduk di atap rumah. Bukan di atas genting. Rumah sederhana kami yang terletak di lantai dua memang tidak bergenting. Tapi masih ada satu lantai tanpa atap yang bisa kami pakai menjemur pakaian, sarapan, makan malam, menulis, mengerjakan tugas kuliah, hingga mendirikan tenda dan berpura-pura sedang summer camp di Edinburgh. Di atas sini adalah bagian favoritku dari rumah kami. Ada lampu-lampu kecil yang kami atur sedemikian pada jaring-jaring bekas. We’re such recycling lovers.

Oh iya, sejak tadi yang kusebut ‘kami’ adalah aku sendiri, dan Dinda. Buatku, yang hanya mengenal dunia biner ini, jarang betul bisa melihat teleskop dan menggunakannya langsung. Apalagi memilikinya. Dinda, meski ia hanya meminta sebuah cincin sebagai mahar, aku ngotot ingin memberinya ‘sesuatu’ selain sebuah cincin.

Teleskop Celestron pesananku sampai kemarin. Sengaja kuminta dikirim ke kantor agar tak ketahuan. Entah kenapa pilihan itu jatuh pada teleskop. Aku tidak pernah tahu Dinda suka astronomi atau tidak. Tapi waktu ditawari Adit, sahabatku yang sedang kuliah master di Jerman soal Celeston itu aku langsung mengiyakan tanpa pikir panjang.

“Waaah..” mata Dinda berbinar-binar takjub. Matanya yang bulat semakin indah. Salah satu yang kusuka dari dirinya. Cukup lama ber’waah’ mengamati Celestron baru kami, ia kemudian melirikku. Melirik Celestron lagi. Melirikku lagi. Aku tersenyum dan mengangguk. Si mata indah itu ikut mengangguk. Entah dengan bahasa apa kami ‘berbicara’ barusan.

Aku jadi teringat kedua kalinya bertemu bidadari bermata indah ini. Sebuah pertemuan di dalam bus kota. Sederhana dan klise memang. Awalnya aku pun hanya menganggapnya pertemuan biasa. Sama halnya setiap hari bertemu kawan yang sama di kantor, tetangga sebelah yang menyiram bunga, ataupun kondektur bus yang menagih ongkos menumpang. Pagi itu, pukul 07.10 aku mencegat bus kota warna merah. Beruntung dapat bangku kosong deretan ketiga dari depan. Bangku seberang, maksudku bangku samping kiriku yang ada di seberang jalur tengah -jalan penumpang dan kondektur lalu-lalang- juga kosong. Aku duduk bersamaan dengan penumpang baru itu. Gadis berjilbab hijau muda, membawa buket bunga berwarna-warni. Aku melirik sekilas, lalu berpaling ke arah jendela di sisi kanan. Menikmati perjalanan. Lalu turun setelah sampai.

Tapi perjalanan takdir tentu tidak sesederhana pikiran kita saat menjalaninya, bukan?
 Seminggu kemudian, sepulang dari kantor. Kembali naik bus kota warna merah. Kali ini tidak dapat tempat duduk, terpaksa berdiri. Anak kecil berpakaian lusuh naik ke dalam bus. Kukira seorang pengamen, ternyata ia bisu. Hanya mengeluarkan suara tidak begitu jelas. Beberapa penumpang menatap iba, lalu memberi sedikit receh. Beberapa tak segan memberi lembaran. Langkahnya terhenti pada bangku deretan ketiga. Seseorang mengajaknya berbicara. Terkadang jemari tangannya berbentuk simbol-simbol yang tidak semua orang memahaminya.

Bahasa isyarat para tuna rungu maupun tuna wicara. Tak disadari keduanya, aku mengerti pembicaraan singkat itu. Tangan si jilbab biru mengelus kepala anak kecil berpakaian lusuh. Dan hanya menunggu sepersekian detik, wajah anak itu kini terlihat lebih bersemangat.

Terkadang, dalam sebuah perjalanan kita mengira ia yang duduk di seberang sana hanya makhluk yang numpang duduk. Kemudian sama-sama menikmati perjalanan masing-masing. Atau seseorang yang muncul di depan rumah suatu sore hanya lewat permisi. Lalu kita kembali masuk mengunci pintu. Tapi bukankah kita tidak pernah tahu, kapan pertemuan kedua itu tiba?

Dinda mencolekku seenaknya. Lalu menggerakkan tangannya, berkata dalam bahasa isyarat, "Thank’s hadiahnya."

Ya, karena pertemuan pertama adalah saat takdir semua makhluk ciptaanNya dituliskan. Dalam lembaran-lembaran yang terjaga. Penuh kerahasiaan.

0 comments:

Post a Comment