Thursday, 24 January 2013

FICTS: Setelah Tiga Hari

Aku duduk tenang di atas sofa sambil membaca buku. Sebuah kumpulan cerita pendek karya sahabatku yang baru saja diterbitkan. Aku begitu menikmati alunan ceritanya. Dunia ‘lain’ sahabatku itu ternyata lebih menarik dari yang kukira. Di dekatku ada secangkir moccachino panas lengkap dengan taburan cokelat. Ah malam yang indah.

Tunggu dulu.
Sungguh itu hanya imajinasiku. Yang sebenarnya adalah...
Aku duduk gelisah di atas sofa. Buku yang kupegang belum samasekali terbaca. Ia hanya untuk menutupi kebingunganku harus berbuat apa. Sudah satu jam begini.  Moccachino itu memang benar ada, karena dialah pelengkap malam-malamku sebelumnya.

Di sampingku ada makhluk asing yang baru kukenal satu setengah bulan cepatnya –bukan lamanya. Satu setengah bulan yang lalu bertemu di bus kota. Seminggu kemudian diperkenalkan Kak Indah –tetangga depan rumahku- lalu hari-hari selanjutnya berjalan sesuai takdir. Tiga hari yang lalu ia berhadapan dengan ayah mengucapkan sebuah perjanjian. Perjanjian berat yang membuatku mendadak harus patuh sepenuhnya pada orang asing ini.

Ya. Dia suamiku. Ah, aku saja masih merasa aneh memanggilnya begitu. Karena dia pun tak pernah memanggilku dengan sapaan serupa. Canggung? memang. Kami masih sangat asing. Bahkan dalam masa perkenalan pun tak pernah ngobrol terlalu jauh. Aaaargghh.. Mendadak aku menyesalinya.

Seperti malam ini. Dia sibuk di depan laptopnya. Menekuni pekerjaannya sebagai seorang programmer. Entah apa yang dilakukan, aku tidak tahu. Aku sama sekali tidak andal di bidang yang satu ini. Mau dibilang gaptek terserahlah. Aku lebih suka baca buku atau menulis. Makhluk asing berkacamata itu tetap diam. Tidak mengajakku berbicara. Apalagi menanyakan tentang buku yang kubaca. Rambutnya rapi. Tapi terkadang berantakan juga, sih. Wajahnya sungguh serius. Ah, kapan dia itu tidak serius? Bangun pagi rautnya sudah serius. Makan pun cepat tak banyak mengomentari masakanku. Sesekali tersenyum hanya saat acara walimah. Dan.. datang melamar kerumah ayah juga begitu.

Dia tidak pernah bilang masakanku enak atau tidak. Kurang asin atau terlalu hambar. Aku juga tidak tahu dia suka cokelat sepertiku atau tidak. Aku cuma tahu dia sangat cinta dengan komputer dan dunianya. Seperti saat kuhidangkan moccachino untuknya, dia hanya mengangguk. Aku tidak tahu dia suka atau tidak. Sampai punyaku habis pun belum disentuhnya.

Kurasa dia juga tidak tahu aku sangat suka tulisan Tere Liye. Aku suka makan cokelat sejak kecil sampai sering bolak-balik ke dokter gigi. Aku tidak begitu suka musik. Aku mengoleksi bungkusan cokelat untuk didaur ulang. Aku terkadang suka mengamatinya saat sedang terlelap. Apalagi suaranya yang merdu mentartil surah Maryam. Dan aku.. ingin dipanggil dengan panggilan yang berbeda. Seperti Rasulullah yang memanggil Aisyah dengan Humaira.

Tiba-tiba dia meraih cangkir dan menyeruput. Jangan-jangan dia tahu apa yang kupikirkan soal moccachino tadi. Moccachino yang mungkin sudah dingin itu habis sekejap. Lalu mendadak menatapku dalam-dalam. Aku makin salah tingkah. Secepat kilat menenggelamkan pandangan ke dalam buku.

“Dinda, bacanya dari tadi masih halaman pertama?” Kulirik ia sedang tersenyum.. manis sekali.
Aku kaget. Pertama, karena dia ternyata menyadari aku yang memang tidak serius membaca. Kedua, dia memanggilku apa?? Dinda? Namaku Annisa.


24 Januari 2013
 menikmati hujan~

5 comments:

Hanasa said...

JOSSSSSSSSSSS KARENA TOKOH SUAMINYA BERKACAMATA I LOVE YOU UMMI (edisi capslock jebol) hehehehe

Quinzyvarira said...

suaminya punya indra ke kanan ternyata
hahaha
keren, keren

Umi Citrayani Lestari said...

waww baru nyadar kalo ada komen hehe
@hana: buat menciptakan karakter cool emang paling joss kalo berkacamata haha
@quinzy: makasih pay :)) tulisan kamu juga bagus-bagus lho

Unknown said...

ah kalo berkacamata itu kayaknya cita-cita terpendam ummi deh? iya apa iya?

Umi Citrayani Lestari said...

ye ngga juga kali de hihi :>

Post a Comment