Aku duduk tenang di atas sofa sambil membaca buku. Sebuah kumpulan
cerita pendek karya sahabatku yang baru saja diterbitkan. Aku begitu menikmati
alunan ceritanya. Dunia ‘lain’ sahabatku itu ternyata lebih menarik dari yang
kukira. Di dekatku ada secangkir moccachino panas lengkap dengan taburan
cokelat. Ah malam yang indah.
Tunggu dulu.
Sungguh itu hanya imajinasiku. Yang sebenarnya adalah...
Aku duduk gelisah di atas sofa. Buku yang kupegang belum
samasekali terbaca. Ia hanya untuk menutupi kebingunganku harus berbuat apa.
Sudah satu jam begini. Moccachino itu memang benar ada, karena dialah
pelengkap malam-malamku sebelumnya.
Di sampingku ada makhluk asing yang baru kukenal satu setengah
bulan cepatnya –bukan lamanya. Satu setengah bulan yang lalu bertemu di bus
kota. Seminggu kemudian diperkenalkan Kak Indah –tetangga depan rumahku- lalu
hari-hari selanjutnya berjalan sesuai takdir. Tiga hari yang lalu ia berhadapan
dengan ayah mengucapkan sebuah perjanjian. Perjanjian berat yang membuatku
mendadak harus patuh sepenuhnya pada orang asing ini.
Ya. Dia suamiku. Ah, aku saja masih merasa aneh memanggilnya
begitu. Karena dia pun tak pernah memanggilku dengan sapaan serupa. Canggung?
memang. Kami masih sangat asing. Bahkan dalam masa perkenalan pun tak pernah
ngobrol terlalu jauh. Aaaargghh.. Mendadak aku menyesalinya.
Seperti malam ini. Dia sibuk di depan laptopnya. Menekuni
pekerjaannya sebagai seorang programmer. Entah apa yang dilakukan, aku tidak
tahu. Aku sama sekali tidak andal di bidang yang satu ini. Mau dibilang gaptek
terserahlah. Aku lebih suka baca buku atau menulis. Makhluk asing berkacamata
itu tetap diam. Tidak mengajakku berbicara. Apalagi menanyakan tentang buku
yang kubaca. Rambutnya rapi. Tapi terkadang berantakan juga, sih. Wajahnya
sungguh serius. Ah, kapan dia itu tidak serius? Bangun pagi rautnya sudah
serius. Makan pun cepat tak banyak mengomentari masakanku. Sesekali tersenyum
hanya saat acara walimah. Dan.. datang melamar kerumah ayah juga begitu.
Dia tidak pernah bilang masakanku enak atau tidak. Kurang asin
atau terlalu hambar. Aku juga tidak tahu dia suka cokelat sepertiku atau tidak.
Aku cuma tahu dia sangat cinta dengan komputer dan dunianya. Seperti saat
kuhidangkan moccachino untuknya, dia hanya mengangguk. Aku tidak tahu dia suka
atau tidak. Sampai punyaku habis pun belum disentuhnya.
Kurasa dia juga tidak tahu aku sangat suka tulisan Tere Liye. Aku
suka makan cokelat sejak kecil sampai sering bolak-balik ke dokter gigi. Aku
tidak begitu suka musik. Aku mengoleksi bungkusan cokelat untuk didaur ulang.
Aku terkadang suka mengamatinya saat sedang terlelap. Apalagi suaranya yang
merdu mentartil surah Maryam. Dan aku.. ingin dipanggil dengan panggilan yang
berbeda. Seperti Rasulullah yang memanggil Aisyah dengan Humaira.
Tiba-tiba dia meraih cangkir dan menyeruput. Jangan-jangan dia
tahu apa yang kupikirkan soal moccachino tadi. Moccachino yang mungkin sudah
dingin itu habis sekejap. Lalu mendadak menatapku dalam-dalam. Aku makin salah
tingkah. Secepat kilat menenggelamkan pandangan ke dalam buku.
“Dinda, bacanya dari tadi masih halaman pertama?” Kulirik ia
sedang tersenyum.. manis sekali.
Aku kaget. Pertama, karena dia ternyata menyadari aku yang memang
tidak serius membaca. Kedua, dia memanggilku apa?? Dinda? Namaku Annisa.
24 Januari 2013
menikmati hujan~